30 Hari Menulis #2

Sebuah sepeda berjalan pelan menyusuri sudut kota yang nampak masih terlelap di pagi itu. Pintu-pintu toko masih terkunci dengan gembok-gembok besar. Matahari seakan masih ikut terlelap seperti kebanyakan orang di luar sana. Suara kokok jago yang kadang terdengar silih berganti di beberapa persimpangan dan sudut kampung menjadi harmoni tersendiri disusul dengan suara “kriet” dari sepeda Onta yang menjadi kebanggan Bapak sejak lama membelah subuh nan dingin menusuk tulang-tulang kecilku. Bapak selalu mengajakku untuk bepergian ke Pasar. Agar aku terbiasa dengan keadaan dan tidak mudah mengeluh. Dengan begini aku juga bisa belajar bekerja bukan hanya sekedar meminta.

Pagi itu jam 3.30. Bapak dan aku akan menjual beberapa daun pisang hasil dari kebun Pak Rojak. Beberapa lembar daun yang di ambil Bapak sore kemarin. Memang hasilnya tidak seberapa, bahkan seringkali Bapak masih membaginya dengan Pak Rojak. Karena menurut Bapak, kita bukan meminta tapi bekerja sama dan bagi hasil.
Sayup-sayup riuh pasar terdengar. Di sandarkan sepeda Onta tua itu di pojokan.

“Sebentar ya Le, Bapak tak ke tempat Bu Jul. Nganter pesenan daun pisang ini”, suara Bapak memecah lamunanku pagi itu.

“Nggih Pak”, jawabku cepat.

Dengan sandal jepit kumelnya itu, Bapak dengan gagah menyeberang jalan dan masuk ke dalam pasar. Kulihat ada beberapa pedagang-pedagang menyapa Bapak. Memang, Bapak selalu ramah, bahkan empati dengan orang lain. Jadi lumrah jika hampir semua pedagang mengenalnya. Sesekali Bapak membenarkan tumpukan daun pisang yang dibawanya.

Tak berapa lama Bapak sudah keluar lagi dengan bungkusan kresek hitam di tangan kanannya. Sambil melihat ke kanan dan ke kiri Bapak bersiap menyeberang jalan depan pasar yang tergolong tidak lebar, tapi cukup ramai. Tampak senyumnya sumringah kearahku. Seakan ingin berbagi kebahagiaan itu denganku.

“Nyoh, di bawa buat sarapan kamu sama Lintang. Biar nanti kalian belajarnya semangat”, sambil tersenyum, Bapak menyerahkan bungkusan itu kepadaku.

Aku hanya bisa terdiam dan menerima bungkusan itu. Segera Bapak mengajakku menaiki sepedanya dan membawaku melintasi jalan-jalan kota yang masih sepi itu. Tadi sedikit ku tengok apa isi kresek hitam yang aku bawa ini. 2 bungkus nasi pecel dengan kerupuk. Cukup untuk mengenyakan perut kecil kami berdua. Terus Bapak? entah. Beliau selalu menjawab kalau beliau sudah makan.

“Le, pegangan. Nanti kamu jatuh, Bapak mau ngebut”, seru Bapak kepadaku

“Siap Pak”, aku jawab dengan sedikit bertetriak.

Entah kenapa pagi itu agak sedikit berbeda. Bapak kelihatan sangat gembira. Segan mau bertanya. Tapi apapun itu, aku senang kalau Bapak gembira seperti ini.

Bapak makin kenacnag menggoes sepedanya. Angin semilir dan dingin meluncur ke tangan dan muka. Membawa kesejukan namun sekaligus kehangatan dari Bapak.

Kami berhenti sejenak di sebuah langgar kecil dekat makam Ibu. Ya, Ibu sudah meninggalkan kami 6 tahun yang lalu. Sebuah penyakit yang entah apa namanya, membuatnya harus terbaring lama di kamar tanpa ada perawatan yang memadai. Bapak tidak punya cukup biaya untuk membawa ibu ke Rumah Sakit. Memang Puskesmas tempat kami memeriksakan beliau sudah mau merujuknya. Tapi lagi-lagi, keuangan menjadi soal utama.

Langgar kecil yang cukup lumayan bersih. Memang sedikit terlihat ada beberapa lumut di beberapa sudut, terutama tempat wudhu. Tapi masih nyaman untuk digunakan. Beberapa karpet berderet membentuk shaf yang siap menampung puluhan orang untuk beribadah. Namun, pagi itu hanya terlihat 4 sampai 5 orang yang mengisinya. Entahlah, mungkin banyak yang lebih memilih sholat di rumah. Selain tidak harus keluar rumah dan bertemu dengan dinginya udara pagi, mungkin juga biar lebih cepat tidur lagi.

Setelah sholat subuh berjamaah, Pak Yusuf yang juga ikut berjamaah menyapa kami.

“Assalamu’alaikum, apa kabar Pak?”.

“Wa’alaikummussalam. Alhamdulillah kabar baik. Bagaimana kabarnya Pak Yusuf?”, Bapak juga menyapa.

“Alhamdulillah kabar baik. Saya seneng lihat Qabi juga sering berjamaah. Masih kecil tapi rajin beribadah”.

“Iya Pak, Qabi memang anak yang rajin. Sering mengingatkan saya tentang ibadah juga kalau pas kebetulan saya sedang sibuk bekerja”, dengan bangga Bapak menceritakan hal itu.

Aku cuma bisa terdiam dan tersipu malu.

“Eee begini Pak, sebenarnya saya mau minta tolong. Kira-kira besok hari minggu Bapak sudah ada acara belum ya?, Pak Yusuf melanjutkan.

“Oo belum Pak, saya masih belum ada acara. Apa yang bisa saya bantu Pak Yusuf?”.

“Saya besok minggu mau memanen kolam di belakang rumah. Kira-kira gimana, Bapak bisa bantu?”.

“Oh bisa-bisa Pak Yusuf. Insya Allah saya bisa bantu. Kira-kira jam berapa saya harus kerumah Bapak?”, Bapak menjawab dengan antusias.

“Sekitar jam 8 pagi. Nanti si Qabi dan adeknya sekalian diajak aja. Bisa sambil liburan sekaligus liat ikan dan nanti sekalian bakar-bakar”, Pak Yusuf memberi tawaran.

“Oh boleh Pak? Baik, saya nanti akan mengajak Qabi dan Lintang sekalian. Insya Allah ya Pak”, tampak Bapak sangat gembira.

“Kalau begitu, saya tunggu besok minggu ya. Saya pamit dulu. Assalamu’alaikum”.

“Injih Pak, matur nuwun. Wa’alaikumussalam”. Bapak bersalaman dengan Pak Yusuf.

Bapak masih berdiri melihat Pak Yusuf meningalkan Langgar.

“Doa Bapak terkabul Le”, tiba-tiba Bapak berbicara pelan.

“Maksud Bapak?”, dahiku mulai menyerengit.

“Bapak tadi berdoa, semoga kita mendapatkan rejeki yang banyak dan berkah”, Bapak tersenyum lebar.

Aku tertawa geli, melihat ekspreksi dan jawaban Bapak.

“Lho apanya yang salah? Ini kan bener rejeki dari Allah”, Ekspresi Bapak seakan bingung melihatku tertawa.

“Enggak kok Pak. Bener.. Insya Allah berkah ya Pak hehehe”, aku masih menahan geli. Sedangkan Bapak masih bingung, tapi berangsur paham kenapa aku tertawa geli. Akhirnya Bapak juga ikut tertawa melihatku masih cekikikan. Bapak tiba-tiba berbicara denganku.

“Le, kamu kangen nggak sama Ibu?”.

Suasana tiba-tiba jadi hening. Aku seperti flashback mengingat semua kenangan dengan Ibu. Kenangan saat Ibu menyuapiku, mengganti baju kotor yang aku gunakan untuk bermain bola bersama teman-teman, membopongku ketika aku sakit. Senyum, canda dan keramahan Ibu seakan menjadi film yang terputar berurutan di ruang benakku. Bukan aku yang menyalakan. Tapi pertanyaan Bapak tadi seakan menekan tombol Play di bioskop pikiranku.

“Kangen Pak”, jawabku sangat lirih.

“Terus apa yang kamu lakukan kalau kangen?”, mata Bapak melihatku serius tapi tetap tersenyum hangat.

Sambil kutata perasaan dan pikiranku yang bercampur aduk tidak karuan, aku mulai mencerna pertanyaan Bapak.

“Berdoa Pak”.

“Terus?”.

Seakan Bapak ingin mengorek semua yang ada di pikiranku.

“Kalau udah kangen banget, aku ambil baju Ibu dan aku cium baunya”, jawabku sambil mengelap air mata yang tiba-tiba bersiap meluncur di ujung kelopak mata. Kangen, aku kangen banget dengan Ibu. Anak mana yang tidak kangen dengan Ibunya. Belum genap aku berumur 7 tahun, Ibu harus pergi meninggalkanku selamanya. Sayang, aku masih belum bisa mengenalnya betul.

“Ibu memang udah nggak bersama kita, tapi yakin aja kalau Ibu melihat dan menjaga kita semua. Tugas kita sekarang mendoakan agar Ibu bisa lebih tenang dan bahagia disana”, Bapak terlihat tegar namun tidak bisa menyembunyikan kesedihannya pula.

“Kira-kira Ibu kangen sama kita nggak ya Pak?”.

“Pasti, Ibu juga pasti kangen sama kita. Jadi kalau kita mau ketemu lagi sama Ibu, selalu doain Ibu, Bapak dan Adek juga ya. Biar kita bisa ketemu di Surga Nya”.

Aku mengangguk dan tersenyum yakin.

“Tadi doain Ibu nggak hayo?”, Bapak menggodaku.

“Iyalah, pasti Pak”, Jawabku mantap.

“Kalau Adek?”, tanya Beliau lagi.

“Hmmm masih tanya, ya iyalah”, Jawabku makin mantap.

“Kalaauu… Bapak?”, tanya Bapak sambil mendekatkan wajahnya ke tubuhku.

Aku pura-pura mikir. Sengaja biar Bapak nunggu.

“Enggak”, jawabku cepet.

“Heh”, Bapak langsung menggelitiki perutku. Dan kita tertawa bersama-sama. Langgar sudah sepi karena semua jama’ah sudah pulang. Dan suara tertawa kami memenuhi setiap sudut ruangan yang tidak terlalu besar itu. Andai Ibu masih ada, pasti kita bisa bercengkrama dan bercanda bersama-sama.

Dengan semakin meredanya tawa kami, Bapak tiba-tiba bertanya.

“Besok kalau kamu besar mau jadi apa?”, tanya Bapak pelan.

“Belum tahu Pak”, jawabku singkat.

“Lha kok belum tahu, kan udah mau kelas 6”.

“Masih bingung Pak”.

“Bingung kenapa?”, Bapak langsut menyahut.

Aku terdiam dan menunduk pelan.

“Bapak tahu. Gini lho cah bagus. Bagaimana pun keadaan kita saat ini kamu harus punya cita-cita yang tinggi. Biar kamu selalu punya arah. Biar kamu juga belajar lebih serius dan lebih fokus”, mata Bapak berbinar.
Aku masih terdiam dan memperhatikan.

“Semua itu bisa kamu raih dan kamu capai. Yang penting kamu harus yakin dengan semua yang kamu inginkan. Dan jangan lupa, deketin terus Allah. Yang dengan sholat, puasa, ngaji dan semua perintah-perintahnya”.

Badan dan mataku seakan terhipnotis dengan setiap kata yang keluar dari mulut Bapak. Aku masih terdiam dan memperhatikan dengan sangat serius.

“Lagi pula punya cita-cita itu kan nggak usah bayar. Gratis!!”, Bapak mencoba menggodaku.

Kami tersenyum bersama. Aku suka melihat bapak seperti ini. Selalu punya cara yang asik untuk menasehati dan membimbing kami.

“Mau jadi apapun kamu nanti Le, jangan lupa untuk tetep jadi Orang Baik. Mau jadi Dokter, ya Dokter yang baik. Insinyur, ya Insinyur yang baik. Atau Guru, ya Guru yang baik. Jadi orang baik juga nggak harus nunggu apa-apa dan gimana-giman. Sekarang pun kamu sudah bisa jadi orang baik”, Bapak melanjutkan nasehatnya. Aku masih terdiam.

“Paling nggak untuk orang di sekitarmu. Karena tugas kita adalah nandur kebaikan itu. Kepada siapa aja dan dimana aja. Nggak harus pilih-pilih”.

Sejenak bibirku turun dan aku jadi serius lagi,”Kenapa harus jadi orang baik Pak?”

Bapak tidak menjawab pertanyaanku dengan panjang lebar dan penjelasan yang runtut. Beliau hanya tersenyum dan bilang,

“Nanti kamu akan tahu sendiri. Eh, pulang yuk. Biar kamu segera bisa siap-siap sekolah”.

Selalu seperti itu. Tanpa ada kata-kata yang banyak keluar dari mulut beliau, Bapak selalu lebih baik memberi contoh dari pada hanya sekedar mengucapkannya saja.

Bersambung..

One thought on “30 Hari Menulis #2

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.