30 Hari Menulis #4

Siang itu aku pulang berjalan kaki. Maklum, kalau siang Bapak pasti sedang bekerja atau mencari kerja. Tidak selalu dapat pekerjaan, tapi paling tidak Bapak masih berusaha untuk mengumpulakan rejeki yang halal untuk kami bertiga.

Aku menyusuri beberapa trotoar yang sudah mulai rusak karena sering dilalui kendaraan bermotor. Jadi aku harus berhati-hati untuk melewatinya. Salah-salah kakiku bisa keseleo karena masuk ke lubangnya. Bahkan kadang masih kena klakson pengendara yang lewat.. Atau bahkan kalau hujan genangan air muncul di beberapa cekungan tegel trotoar yang mulai rusak. Tidak di perbaiki? Sudah. Tapi akan seperti itu lagi setiap tahunnya.

Suasana jalanan juga sama. Semakin hari semakin banyak bunyi klakson yang berbunyi. Macet sih sudah pasti, tapi sebagian lagi merasa harus di dahulukan karena terburu-buru. Aku sih selalu berpikir kalau mereka yang sering membunyikan klakson dan mengebut, memang sedang dalam urusan yang mendesak. Seperti istrinya mau melahirkan, sedang ada ujian di sekolahnya, atau di panggil bos untuk segera sampai ke kantornya. Pikiran yang selalu aku jaga untuk tetap positif. Asap kendaraan? Tidak usah ditanyakan lagi. Sudah seperti bagian dari udara yang kita hirup sehari-hari. Walaupun banyak yang mengkampanyekan tentang hidup sehat, harus mengurangi polusi, mengganti kendaraan yang ramah lingkungan. Tapi berapa banyak sih yang sudah melakukan dibandingkan dengan yang mengacuhkan?

Ah sudahlah. Sepertinya tidak cukup waktu untuk selalu mengutuk keadaan yang terjadi di kota ini. Mau sampai kapan?. Belajarlah yang baik dan jadilah pemimpin yang adil. Itu yang selalu ada dalam benakku.

“Qabi” tedengar suara teriakan dari kejauhan. Mengarahkan pandanganku yang semula selalu tertuju ke trotoar kepadanya.
Lamat-lamat aku lihat seorang anak perempuan melambaikan tangan di balik pohon besar dekat perempatan tengah kota. Aku masih belum tahu pasti siapa dia. Jadi ku sipitkan mata agar jelas pandanganku. Akhirnya dia berlari mendekat.

“Selma” dia adalah teman sekolahku. Kami satu kelas. Orangbya baik dan perhatian kepadaku.

“Kamu mau kemana Qabi?” tanya Selma yang sudah berdiri di depanku saat ini, masih dengan baju seragamnya yang mulai basah karena keringatnya.

“Oh, mau ke sekolahannya Lintang. Jemput Lintang terus pulang. Kamu mau kemana Selma?” tanyaku balik dengan Selma.

“Eh, aku temenin ya. Aku juga mau pulang” jawab Selma sambil tersenyum.

“Lho bukannya kamu di jemput ya?”

“Iya, tapi kayaknya enggak kok hari ini. Tadi pagi Ayahku bilang kalau siang ini ada rapat dengan Bosnya. Jadi aku di beri uang untuk naik taksi pulang ke rumah. Lagian aku sudah menunggu dari tadi, tapi taksinya tidak datang-datang” terang Selma panjang lebar menjelaskan kepadaku.

Keluarga Selma bisa dikatakan berpunya. Rumahnya juga cukup besar. Ada di perumahan dekat kampungku. Ayahnya adalah karyawan swasta yang punya jabatan di kantornya. Jadi penghasilannya cukup untuk membeli rumah, mobil dan beberapa fasilitas pendukungnya. Aroma parfumnya pun juga tidak hilang dari pagi kita ketemu. Artinya parfumnya lumayan mahal.

“Ya udah yuk” aku mengajak Selma untuk melanjutkan perjalanan.
Selma menjawab dengan anggukan dan berjalan beriringan denganku.

“Eh, tapi kamu tidak apa-apa berjalan kaki? Kan rumah kamu juga lumayan jauh” kakiku behenti dan mataku melihat ke wajahnya.

“Santai aja Qabi, aku sering kok jalan pagi. Jadi aku pasti kuat untuk jalan sampai ke rumah” jawabnya lantang sambil tersenyum.

“Yakin?”

“Iya, yakin. Aku kuat tau” jawab Selma sambil memukul lengaku dengan ringan.

“Hehehe. Tapi kalau orang tuamu nanti gmn? Apa merek tidak khawatir kamu jadi pulang terlambat?” Tanyaku lagi, memastikan bahwa bukan aku nanti yang disalahkan oleh orang tuanya Selma kalau dia pulang terlambat.

“Nggak akan marah. Ayah sama Bunda pasti pulang malam. Jadi mereka tidak akan tahu aku pulang agak terlambat hari ini” jawabnya yakin. Seakan kalau memang semua sudah bisa dikenadalikan oleh dirinya.

“Oke kalau begitu, mari kita berangkaaatt”

Lumayan, hari ini aku pulang tidak dengan mulut tertutup seperti biasanya. Hanya diam dan melihat sekitar. Sesekali aku mainkan ujung tali tasku yang mulai menjuntai karena sudah rusak, agar tidak bosan selama perjalanan pulangku. Tapi hari ini ada Selma yang bisa aku ajak ngobrol di sepanjang perjalananku.

“Qabi, kok beberapa hari ini kamu kelihatan lesu di kelas? Hmmm bukan lesu, tapi tidak bersemangat seperti biasanya. Kalau boleh tahu kenapa?”

Aku hanya tersenyum, melihatnya dan menggelengkan kepala.

“Ayolah ceritakan. Siapa tahu aku juga bisa membantumu”
Aku sedikit ragu untuk menceritakan rencanaku dan Lintang tempo hari. Di pikiranku, itu sepertinya bukan masalah besar, hanya soal hadiah kemeja untuk Bapak. Yang aku yakin harganya pasti juga tidak terlalu mahal untuknya. Jadi aku masih diam, tersenyum dan mencoba mengubah bentuk wajahku agar terlihat gembira. Aku naikkan alis dan senyum aku pasang lebar-lebar.

“Aku tidak apa-apa kok. Tidak ada masalah sama sekali” masih aku buka senyumku selebar mungkin.

“Aku tidak percaya. Mukamu sengaja kamu buat-buat seperti itu, agar aku menyangka kamu baik-baik saja kan? Kamu salah. Mukamu itu tidak bisa berbohong” jawab Selma dengan lihainya.
Ah, sudahlah. Sepertinya tidak berguna juga aku sembunyikan masalah ini kepadanya. Siapa tahu ada solusi dan bisa mengusulkan ide yang cemerlang.

“Mmmmm… Jadi gini. Bapak sebentar lagi itu ulang tahun. Rencananya aku dan Lintang ingin membelikan Bapak kemeja. Tapi kami masih bingung, gimana caranya dapat uang untuk membeli kemeja itu ya?”

“Oalah.. ya udah kalau begitu. Nanti aku minta uang aja sama Ayah. Biar nanti kalian bisa segera membelinya”

Aku langsung menggeleng,”Tidak Selma. Aku tidak mau merepotkan siapa-siapa. Kita ingin cari cara sendiri untuk membeli kemejanya Bapak. Selain itu Lintang juga pasti tidak setuju kalau aku mengiyakan tawaranmu”.

Selma juga mulai berfikir,”Lalu apa rencananmu dan Lintang?”.

“Kami masih belum tahu. Baru ide memberikan hadiah itu saja yang kemarin sempat kami bahas”

“Hmmm, gimana kalau aku tidak memberi uang kamu. Tapi kamu meminjamnya. Dan kamu bisa mengembalikannya kapan saja. Gimana?” Satu tawaran lagi diberikan Selma.

Sekali lagi aku menggelengkan kepala dan berkata,”Tidak Selma. Masalahnya nanti akan semakin rumit. Pertama, aku tidak tahu bagaimana cara mengembalikannya. Karena aku juga tidak punya penghasilan seperti orang-orang besar. Kedua, kalau Bapak tanya kami beli kemeja itu dari mana, dan kami jawab dari pinjam uangmu. Pasti Bapak juga tidak setuju. Aku yakin Bapak akan marah besar kalau tahu itu”.

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Tanpa ada kata-kata Papun yang keluar dari mulut kami berdua. Suara kendaraan yang lalu lalang ramai, seakan tidak terdengar. Karena pikiranku penuh dengan tanya, bagaimana ya cara untuk mendapatkan uang untuk membeli kemeja untuk Bapak.

Diiinnn…. Diinn…., Terdengar suara klakson dari seberang jalan. Memecah konsentrasiku yang masih berpikir serius.

“Ayah” Selma melihat ke seberang jalan dan melambaikan tangannya. Ternyata mobil itu milik Ayah Selma. Beliau turun dari mobil dan menyeberang menghampiri kami berdua. Tapi sebelum sampai ke tempat kami berdiri, aku berbicara lagi dengan Selma.

“Selma, nanti jangan carita kepada siapa-siapa ya soal yang tadi. Biar aku aja dan Lintang yang mengusahakan. Lagi pula itu bukan masalah yang serius”.

“Aku tidak akan cerita ke siapa-siapa. Tapi, bolehkan kalau aku ikut memikirkan. Siapa tahu aku punya ide untuk mewujudkannya” Jawab Selma cepat.

“Oke, setuju”

Obrolan kami soal kemeja stop sampai disitu. Tidak berselang lama Ayahnya Selma mendekati kami berdua.

“Kok kalian jalan kaki? Selma, tadi pagi Ayah kan udah kasih kamu uang untuk naik taksi” Tanya Om Agus ayahnya Selma.

“Iya yah, tapi nunggu taksinya lama. Terus Selma liat Qabi lagi jalan. Ya udah, Selma temenin sekalian jalan pulang. Lagi pula Ayah kan harusnya pulang nanti malem” jawab Selma sedikit agak sebel.

“Ayah buru-buru pulang, karena Ayah harus ke Bandara sore ini. Meeting Ayah di tunda lusa. Tapi hari ini Ayah harus ke luar kota. Ada beberapa orang yang harus Ayah temuin untuk masalah kantor. Dan tadi Ayah lihat kamu pas sampai perempatan. Jadi ayah putar balik untuk jemput kamu sekalian. Yuk, pulang bareng Ayah. Nanti Qabi sekalian bisa ikut naik mobil” Om Agus mencoba menjelaskan sambil membujuk Selma agar mau pulang bersamanya.

“Selma jalan kaki aja Yah. Lagi pula Ayah kan buru-buru. Biar aku jalan kaki sama Qabi” Selma mencoba untuk menolak ajakan Ayahnya.

“Lho, Selma nggak mau mengantar Ayah ke bandara? Mosok ayah berangkat sendirian?” Bujuk Om Agus lagi dengan muka memelas.
Selma terdiam dan melihat ke arahku. Kemudian dia bilang,”Yuk Qabi, naik mobil ayah aja pulangnya. Biar cepet”.

“Oh, aku jalan kaki saja. Lagi pula aku harus jemput Lintang juga kan” Aku mencoba menolak ajakan Selma.

“Ayolah, kan lebih nyaman kalau kita naik mobil. Yuk” bujuk Selma kepadaku lagi.

Aku melihat ke Om Agus, terlihat wajahnya mulai agak panik. Sepertinya memang Om Agus sedang terburu-buru. Dan ingin segera pulang ke rumahnya.

“Tidak usah Selma. Aku jalan kaki saja. Lagi pula nanti masih harus nunggu Lintang juga. Sepertinya dia ada tambahan pelajaran siang ini. Jadi kemungkinan akan lama pulangnya” aku menolak dengan cara sehalus mungkin.

“Yuk nak” Om Agus makin terlihat gelisah.

“Qabi, beneran kamu tidak mau ikut bersama kami?” Tanya Selma sekali lagi memastikan.

“Iya hehehe. Aku jalan kaki saja” jawabku mantap dan penuh keyakinan.

“Ya sudah kalau begitu. Sampai ketemu besok yaa”.

“Qabi, kami pulang dulu yaa. Hati-hati di jalan ya” pesan Om Agus sambil menggendong Selma agar lebih cepat bisa segera sampai di mobil.

“Iya Om pasti” aku lambaikan tangan dan wajah penuh keyakinan.
Mobil Om Agus segera melaju, sesaat setelah Om Agus dan Selma masuk di dalamnya. Sendiri lagi seperti biasanya. Hehehehe memang harus seperti ini ya. Ah tidak apa lah, kan sudah biasa. Lagi pula masih ada suara-suara burung, kendaraan dan obrolan dari orang-orang di sepanjang jalan. Anggap saja itu semua adapah radio yang sedang aku putar bersamaan. Akupun melanjutkan perjalanku ke sekolah Lintang.

Ternyata Lintang sudah menunggu di depan gerbang sekolahnya. Mukanya terlihat sumringah melihatku yang berlari kecil mendekat kearahnya.

“Mas, gimana? Udah ada ide untuk cari uang buat beli hadiah Bapak?” Tanya Lintang sedikit mengagetkanku yang sedang duduk di depan rumah.

“Masih belum Dek. Paling cepet ya cari kardus terus dijual ke pasar” aku tunjuk tumpukan kardus hasil Bapak mengumpulkannya selama ini.

“Itukan punya Bapak. Kalau kita jual, pasti Bapak juga tanya, kemana kardusnya?” Lintang membuka-buka tumpukan kardus itu.

“Maksudnya, kita cari lagi. Terus kalau sudah terkumpul baru nanti kita belikan” jelasku.

“Memang Mas Qabi udah tahu harganya?” Tanya Lintang lagi sambil duduk di tumpukan kardus.

“Belum” aku jawab sambil nyengir.

“Hmmmmm gimana sih… “

“Ya udah kalau gitu, kamu cari tahu dulu berapa harganya. Kamu bisa ke Pasar ke toko baju depan gapura. Nanti aku cari cara untuk cari uangnya” usulku sambil tersenyum bangga karena aku punya solusi.

“Oke Mas. Setuju” Lintang mengulurkan tangan mengajakku bersalaman. Sebagai tanda kesepakatan.

“Sipp” aku pun menjabat tangannya. Dan petualangan kami pun dimulai.

Bersambung

 

1695 words

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.