30 Hari Menulis #5

Sepulang sekolah aku jalan keliling kampung sambil berpikir, gimana ya caranya dapat uang buat beli kemejanya Bapak. Kalau mau kerja, kerja apa ya?. Beberapa gang aku telusuri. Setapak demi setapak, dengan kaki beralaskan sandal jepit yang aku tali bagian bawahnya, karena memang sudah lepas. Pikiranku juga masih terus berputar, mencoba menemukan ide-ide yang bisa aku gunakan.

Mataku menengok kanan-kiri mencoba mencari peluang yang bisa digunakan untuk mendapatkan uang. Apa bener kata Lintang ya, coba cari kardus, terkumpul dan dijual. Aku berbicara pada diriku sendiri. Biasanya yang paling sering punya kardus ya di toko. Tapi, kebanyakan kardus bekasnya juga mereka jual sendiri. Ah, coba dulu deh. Aku langkahkan kakiku ke tokonya Pak Soleh. Salah satu penjual sembako. Siapa tahu ada.

“Assalamu’alaikum, permisi” aku sedikit berjinjit di etalase kaca milik Pak Soleh. Agar tanganku masih bisa bersender disana.

“Wa’alaikumussalam” terdengar jawaban dari dalam. “mau beli apa nak?” Lanjut Bu Soleh yang menemuiku siang itu.

“Ibu punya kardus bekas yang sudah tidak dipakai?” Tanyaku langsung kepada beliau.

“Oh, ada. Untuk keperluan apa? Yang besar apa yang kecil? Kalau yang besar 5.000, yang kecil 3.500” seru Bu Soleh sambil berbalik badan untuk mencarikan kardusnya.

“Eee.. bukan yang di jual Bu” kata-kataku langsung meluncur untuk mencegah Bu Soleh pergi mencari kardus di belakang.

“Maksudnya?” Bu Soleh melihatku lagi dengan muka bingung.

“Eeee jadi, saya mau minta kardusnya Bu. Untuk saya jual. Kardus yang tidak di pakai gitu Bu” Aku mencoba menjelaskan dengan singkat dan jelas. Agar Bu Soleh tidak kebingungan lagi.

“Oalah, itu ya maksudnya. Kalau itu tidak ada Nak. Semua kardus yang kita punya memang juga untuk di jual lagi” terang Bu Soleh.

“Begitu ya Bu. Yang rusak juga tidak apa-apa Bu” Aku mencoba mencari alternatif yang lain.

“Yang rusak juga nggak ada Nak. Sudah Bapak dan Ibu pilih-pilih. Dan karena memang mau dijual lagi, kami sangat hati-hati kalau membuka kardusnya. Memangnya untuk apa?” Tanya Bu Soleh penasaran.

“Saya mau cari uang Bu. Buat membeli kado ulang tahun Bapak saya. Mau saya belikan kemeja” dengan keraguan aku ceritakan maksudku mencari kardus.

Bu Soleh sedikit tertegun, beliau tidak langsung menjawab. “Begini saja, kalau kardus kan memang saya jual. Tapi saya punya beberapa koran. Kamu mau?”

“Wah, mau Bu. Itu juga boleh” mataku berbinar seperti melihat jalan terang yang tiba-tiba hadir di kebuntuan.

“Tunggu sebentar ya. Ibu ambilkan di belakang” Bu Soleh berbalik badan dan menuju ke belakang rumahnya. Tidak berselang lama, Bu soleh hanya membawa beberapa lembar koran saja. “Maaf ya Nak, Ibu hanya punya ini. Ternyata koran yang lain juga sudah diambil orang pencari rongsok kemarin” Beliau mencoba menjelaskan kepadaku dengan wajahnya yang agak sedih. Mungkin beliau takut mengecewakanku yang sudah menunggu.

“Ah tidak apa-apa Bu. Itu juga cukup. Nanti yang lainnya saya coba cari di tempat lain” jawabku dengan sumringah.

Akhirnya Bu Soleh juga ikut tersenyum dan berkata,”mmm gini, koran ini kamu bawa sekalian ini ada roti. Buat kamu yang sudah berusaha hari ini”.

“Tidak usah Bu, korannya saja cukup” Aku mencoba menolaknya. Karena aku sendiri juga tidak enak, malah merepotkan orang lain.

“Sudah tidak apa-apa. Kamu bawa 2 roti ini. Dan ini korannya” Beliau memberikan kresek berisi roti dan beberapa lembar koran tadi. Tanganku dipegang, digenggamkannya bungkusan tadi seperti sedikit memaksa agar aku menerimanya. Walaupun seperti itu, namun wajahnya masih tersenyum tulus.

Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih kepada beliaunya,”terima kasih banyak ya Bu. Semoga rejeki Ibu nanti juga ditambah oleh Allah”.

“Amiin” jawab Bu Soleh singkat.

Setelah berpamitan, aku melanjutkan perjalananku untuk mencari kardus dan koran. Aku juga baru ingat, kalau koran juga masih bisa di jual. Jadi makin banyak barang yang bisa aku cari untuk kemudian aku jual. Oke, sekarang aku coba cari kardus atau koran.

“Qabi, main bola yuk” teriak Ilman salah satu teman mainku, dari salah satu lahan yang tidak terlalu luas. Biasanya memang teman-teman menggunakan lahan ukuran kurang lebih 10×10 meter itu untuk bermain bola atau lari-larian. Maklum lahan menjadi sempit karena pembangunan mulai merajai sudut-sudut kampung.

“Eh Ilman, enggak dulu Man. Aku lagi…. Ada kegiatan lain. Besok aja yaa” Aku berusaha untuk terlihat biasa dan memang sedang ada kegiatan. Agar Ilman dan teman-teman yang lain tidak bertanya macam-macam.

“Ayolah, sebentar saja. Paling juga 10 menit selesai” Ilman mencoba membujukku. Mana mungkin main bola cuma 10 menit. Kalau nggak hujan deras yang menghentikan kami atau orang tua yang memanggil baru bisa menghentikan permainan kami. Kalau cuaca cerah seperti ini? Adzan maghrib yang menjadi tanda seperti peluit panjang wasit yang berbunyi di akhir pertandingan.

“Enggak Man, aku buru-buru. Sudah di tunggu soalnya. Besok saja yaa” Aku mempercepat jalanku.

Dan sepertiny berhasil, mereka masih tetap melanjutkan pertandingan bolanya. Yang laon seakan tidak menghiraukan atau tidak tahu aku ada di pinggir lapangan.

Ilman berkata,”Oke, sampai ketemu besok yaaa”.

“Iyaaa” Aku menjawab singkat dan semakin mempercepat jalanku lagi. Beberapa saat kemudian aku sudah sampai di sudut gang dan berhenti sejenak  sambil menata nafasku yang mulai terengah-engah. Tidak apa-apa main sebentar, tapi pasti nanti keterusan dan malah tidak jadi mencari kertas koran atau kardus. Mendingan tidak usah sekalian.

Matahari mulai beristirahat ke barat. Langit menjadi  jingga dan bebeapa kakek berpakaian koko, bersarung dan berpeci mulai terlihat mendatangi langgar dan masjid terdekat. Suasana riuh anak-anak yang bermainpun mulai meredup.

nyata, sampai menjelang maghrib aku tidak mendapatkan lagi kardus ataupun koran. Beberapa rumah yang aku datangi rata-rata masih memakai kardus atau korannya. Atau memang sudah di jual kepada orang pencari rongsok. Aku berusaha menguatkan hati dan pikiranku, kalau ini memang rejekiku hari ini.

“Gimana Mas? Udah dapet ide?” Tanya Lintang berbicara pelan kepadaku.

Mataku menyapu sudut ruangan rumah, aku tengok beberapa sudut dan berlari pelan ke arah pintu, melihat keluar rumah.

“Tenang, Bapak belum pulang kok. Jadi kita aman ngobrol tentang hadiah buat Bapak” lintang langsung membuatku lega. Sepertinya dia tahu kenapa aku bersikap demikian.

“Idemu yang Mas pakai. Coba cari kardus untuk nanti kita jual lagi” Aku melangkah mendekat ke Lintang.

“Terus mana kardusnya?” Mata Lintang melihat sekitar dan tidak menemukannya.

“Itu” Aku menunjuk beberap lembar koran yang aku dapat tadi.

“Jadi sekarang koran itu namanya kardus ya Mas?” Tanya Lintang, yang lantas membuat kami berdua tertawa bersama.

“Dari tadi pulang sekolah sampai hampir maghrib, Mas cuma dapet beberapa lembar koran itu. Oh iya ini ada roti. Tadi selain koran, Bu Soleh ngasih roti juga” Aku mengambil roti di kantong kresek yang aku taruh di bawah kertas koran tadi.

“Wah, Alhamdulillah. Rejeki itu namanya Mas” Lintang langsung mengambilnya satu. Dia buru-buru membukanya bersiap untuk memakannya, mungkin karena sudah lapar belum makan malam. Tapi kemudian berhenti sebelum mengigitnya. Seakan ada tombol pause yang membuat Lintang terdiam sejenak.

“Bapak sudah makan belum ya Mas?” Lintang mengurungkan memakan rotinya dan membungkusnya lagi.

“Mas juga belum tahu” jawabku kepadanya. “Ya sudah, kita simpan dulu rotinya. Kita tunggu Bapak sebentar lagi. Kalau tidak tidak bawa makanan. Nanti kita potong-potong rotinya dan kita makan bersama-sama” lanjutku dengan nada sedikit menggoda kepada Adik kecilku ini.

“Kita simpen lagi aja ya Mas” Lintang menyerahkan rotinya lagi kepadaku.

Lintang memang perhatian dengan semua orang, terutama dengan Bapak. Karena Bapaklah yang menjadi sosok Bapak sendiri dan Ibu dalam waktu bersamaan. Membesarkan Lintang dr dia bayi sampai sekarang. Apalagi Lintang anak perempuan. Biasanya kan lebih dekat dengan Bapaknya.

“Eh, kamu gimana Dek? Udah dapet info harga kemejanya?” Tanyaku balik kepada Lintang

Lintang menggeleng,”Aku belum ke toko pakaian Mas. Sepertinya memang harus ke pasar. Toko di depan kampung ada tulisannya DIJUAL”.

“Tapi gimana caranya kamu ke Pasar Dek? Nggak mungkin kamu kesana sendirian. Apa besok Mas anter sekalian Mas cari kardus lagi?” Aku coba tawarkan ideku untuk menemaninya. Jarak pasar memang lumayan jauh. Kalau jalan kaki bisa satu sampai satu setengah jam. Dan Aku juga tidak tega melihat Lintang jalan kesana sendirian. Terlalu berbahaya.

“Tenang Mas. Lusa, Bapak mengajakku ke pasar setelah aku pulang sekolah. Katanya mau beli beberapa kain dan busa untuk memperbaiki sofa milik Pak RT. Jadi sekalian aku bisa lihat-lihat” terang Lintang menenangkan keadaan seakan tahu kegelisahanku.

“Oh, bagus kalau begitu. Tapi jangan sampai Bapak tahu ya!”

“Siaappp” Lintang mengangkat tangannya untuk hormat kepadaku. Kami tersenyum bersama.

Terdengar bunyi rem sepeda di depan rumah kami. Suara as berdecit yang tidak asing untuk telinga kecil kami. Bapak. Ya, suara sepeda Bapak yang sangat mami kenal baik sekali. Buru-buru aku sembunyikan beberapa kertas koran yang aku dapat tadi. Tidak ingin Bapak curiga dan bertanya untuk apa kertas itu. Sementara karena tidak terlalu banyak, aku sembunyikan di atas lemari kayu tua Bapak. Aku minta Lintang untuk mengambilkan kursi, agar aku bisa berjinjit meraih lemari yang entah sejak kapan sudah berada di posisi itu. Soal roti, aku siapkan saja di atas meja makan. Memang rencananya bisa dimakan semua orang di rumah ini.

“Assalamu’alaikum” Bapak membuka pintu depan dan memunculkan wajahnya ke dalam rumah. Menengok kira-kira ada orang tidak di rumah.

“Wa’alaikumussalam” aku jawab kompak berdua dengan Lintang sambil tersenyum.

“Kok pada senyum-senyum berdua, ada apa ini?” Tanya Bapak sedikit keheranan sambil menaruh beberapa peralatan menukangnya di dapur.

“Tidak ada apa-apa Pak” Jawab Lintang masih sambil tersenyum.

“Hmmmm tidak mungkin kalau tidak ada apa-apa. Muka kalian sumringah gitu” Bapak semakin penasaran dan mendekat ke kami.

“Beneran tidak ada apa-apa Pak” Aku mencoba membantu menjawab.

“Bapak mau tau ada apa?” Tanya Lintang dengan senyum-senyum.

“Apa? Kasih tahu Bapak dong” Bapak mendekat ke Lintang.

Aku sudah mulai panik. Jangan-jangan Lintang mau cerita apa rencana kami. Mataku mulai aku gerak-gerakkan. Seakan membuat kode dengan Lintang, jangan bilang Lintang.

“Bapak, penasaran ya?” Lintang seakan menggoda Bapak dan melihatku sambil tersenyum.

Sekarang tidak hanya mataku yang aku gerakkan, kepala dan gerakan tangan yang mengisyaratkan jangan cerita Lintang, aku mohon jangan cerita. Nanti tidak jadi surprise lagi.

“Iya Bapak penasaran. Apa yg kalian sembunyikan hayo?” Bapak terus mendekatkan kepalanya kepada Lintang dan Aku.

Aku masih senyum sedikit menahan takut kalau Lintang keceplosan. Tanganku mulai keringet . Tiba-tiba Lintang berbisik pelan kepada Bapak,”Kata Mas Qabi, Bapak bau kecut”.

Sesaat suasana hening dan tiba-tiba kami semua tertawa terbahak bersama-sama. Bapak menggelitiki dan membuka ketiaknya lebar-lebar dan mendekatkannya ke kami berdua. Kami larut dalam tawa malam itu. Sesekali Bapak menggelitikiku dan Lintang bergantian.

“Ya udah Bapak mandi dulu. Bapak bawa nasi telur buat kita bertiga. Nanti di siapkan di piring sekalian ya” pinta Bapak kepada kami dengan sisa-sisa tawa yang masih ada di sudut bibir kami.

“Siap Pak” jawab Lintang mantap.

Ketika Bapak melintas meja makan, Beliau melihat bungkusan roti tadi. Kemudian beliau bertanya,”Ini roti siapa Nak?”.

“Oh, tadi siang dikasih Bu Soleh Pak” Aku langsung menjawabnya.

Bapak manggut-manggut, sambil berkata,”Sudah bilang terima kasih?”.

“Sudah Pak. pasti” aku jawab dengan mengangkat 2 jempol tanganku.

“Bapak mandi dulu, setelah itu kita makan bareng-bareng ya” lanjut Bapak sambil meninggalkan kami berdua dengan membawa handuk ke luar rumah.

 

Bersambung

1.759 words

2 tanggapan untuk “30 Hari Menulis #5

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.