30 Hari Menulis #3

“Assalamu’alaikum”, sapa Bapak sambil mengetuk pintu.

“Wa’alaikumsalam”, sahut suara pelan dari dalam Rumah.

Sesosok wanita kecil muncul membukakan pintu rumah kami yang terbuat dari sebuah triplek kayu yang tidak terlalu kuat itu. Susunannya memang tidak beraturan, tapi aku selalu kagum dengan hasil karya Bapak ini. Diambil dari beberapa kayu yang Bapak peroleh selama membantu membangun rumah orang-orang. Sebagian lagi entah di dapatkannya dari mana. Menurutku sih masih tetep artistik. Nyentrik.

Lintang, itulah sesosok wanita kecil itu. Dia adalah adikku yang terpaut 2 tahun di bawahku. Karena ditinggal Ibu itulah, Lintang jadi sedikit pemurung. Kasih sayang Ibu hampir tidak dirasakannya. Maklum, Lintang masih berumur sekitar 3 tahun waktu itu. Badannya tidak terlalu berisi, cenderung kurus. Kadang Lintang juga gampang jatuh sakit. Mungkin bukan hanya karena kekurangan gizi, tapi juga hatinya yang sepertinya juga lapar dan haus kasih sayang. Aku dan Bapak sudah mencoba untuk menggantikan sosok Ibu. Namun sepertinya tetap saja, sosok Ibu pasti akan sangat berbeda dengan kita yang mencoba menggantikan perannya.

“Ini Dek, Mas dan Bapak bawa makanan buat kita sarapan,” sambil aku berikan bungkusan yang aku bawa dari pasar tadi.

“Alhamdulillah, terima kasih banyak yang Mas. Eh, buruan mandi Mas. Tadi udah tak siapin haduk dan bajumu juga itu,” seru Lintang sambil menunjuk handuk dan seragamku.

“Siap”, jawabku singkat, lalu aku ambil handuk dan baju seragamku.

“Bapak pasti capek kan dari tadi naik sepeda memboncengkan Mas Qabi. Duduk dulu Pak”, Lintang mengambilkan Bapak kursi dan menaruhnya di depan meja makan sekaligus meja belajarku dan Lintang.

“Alhamdulillah.. hadeehh.. pegel juga kaki Bapak”, keluh Bapak sambil duduk.

“Lintang ambilkan minyak ya Pak. Ini pasti gara-gara Mas Qabi mulai gendutan”, Lintang agak sedikit mengeraskan suaranya. Agar aku juga mendengar apa yang disampaikannya.

“Heeeeehhhh… enak aja. Kamu itu Dek yang gendutan..”, aku berteriak dari kejauhan. Maklum kami tidak mempunyai kamar mandi sendiri. Jadi apapun aktifitas seperti mandi, cuci ataupun membuang kotoran ya di kamar mandi umum sekitar 50 m di ujung gang rumah kami. Karena memang kebanyakan rumah di kampong ini tidak banyak yang memiliki kamar mandi sendiri, maka fasilitas umum ini menjadi satu-satunya harapan.

Walaupun harus mengantri untuk mandi, aku tidak keberatan. Bahkan itu menjadi seni tersendiri. Aku bisa meng-update informasi tentang kampungku melalui percakapan di luar kamar mandi umum itu. Informasi tentang ada tetangga baru, obrolan ibu-ibu tentang siapa yang mendapat arisan kemarin sore, atau bahkan kritik dan rasan-rasan tentang presiden dan kebijakannya juga menjadi topic hangat yang selalu muncul di waktu senggang sambil menunggu antrian. Sedangkan aku, lebih asik ngobrolin pertandingan bola lawan kampung sebelah atau merencanakan petualangan-petualangan baru dengan teman-teman yang akan kami lakukan di akhir pekan. Semuanya gayeng.

Selesai mandi, aku kembali ke rumah. Lintang sudah siap dengan baju seragam dan sepatunya. Adikku memang rajin dan cekatan.

“Bapak kemana Dek?”, tanyaku saat aku melihat Lintang sendirian.

“Katanya mau ke depan sebentar, ke rumah Pak RT”, jawab Lintang sambil merapikan bajunya.

“Kok pagi-pagi udah ke tempat Pak RT, ada apa memangnya?”

“Nggak tahu Mas, tadi Bapak cuma bilang gitu” Lintang menyisir rambutnya, tanda dia sudah hampir selesai dan bersiap.

“Oooo”

“Ayo Mas, cepetan. Udah jam 6 lewat lho. Nanti kalau telat gimana?” rengek Lintang.

“Iya, iya.. ini juga udah mau siap kok”, sahutku dengan cepat, sambil aku kenakan baju seragamku.

“Ini, sarapannya juga udah aku siapin”, lanjut Lintang sambil membuka bungkusan yang aku bawa bersama Bapak dan diletakkannya di piring.

“Siap komandan”, aku jawab dengan berdiri tegap menghadapnya.

“Bapak kasihan ya Mas”, celetuk Adikku tiba-tiba.

“Kasihan kenapa?”, sahutku sambil ke kerenyitkan dahiku. Seakan ingin menebak arah pembicaraan Lintang.

Lintang menatapku dengan muka sedihnya. Sejenak kami terdiam. Kemudian Lintang berkata,”Bapak pasti capek banget ya Mas”.

Aku mulai bisa meraba apa yang ingin di sampaikan Lintang. Aku paham apa yang dirasakan Lintang. Pikiranku juga pernah berada disana. Bagaimana menjadi seorang Bapak yang harus bisa segala hal. Tidak hanya bekerja untuk menghidupi kami, tapi juga menjadi “Ibu” ketika peran itu tidak ada di samping kami. Pikiran, tenaga dan perasaan, semuanya seakan terperas untuk menjalani semua ini. Kalau aku jadi Bapak, mungkin aku sudah bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Satu lagi, kenapa Lintang bisa berpikir tentang itu ya?.

“Siapa bilang Bapak capek?”, tiba-tiba Bapak muncul dari pintu depan. Ternyata Bapak mendengar percakapan kami.

Aku dan Lintang terdiam.

“Ini sudah jadi tanggung jawab Bapak. Memang kadang kaki dan tangan Bapak pegal-pegal. Tapi Bapak tidak capek. Bapak seneng masih bisa melihat kalian tumbuh berkembang, membiayai kalian sekolah. Semuanya Bapak lakukan dengan senang. Tanpa ada yang membebani Bapak sama sekali” Bapak tersenyum.

“Iya Dek, Bapak ini kuat kok. Lihat tu, tangannya aja berotot. Iya kan Pak?” aku menambahkan kalimat Bapak.

“Iya ni, tuuu…” jawab Bapak sambil mengangkat dan memamerkan otot di lengannya.

Lintang tertawa tanpa ada suara. Aku bisa menebak kalau dia tidak selega itu dengan mendengar jawaban-jawaban dari aku dan Bapak.

Akupun sama. Kata-kataku tadi hanya untuk membuat Lintang lebih tenang. Padahal di kepalaku, aku bergumam dengan diriku sendiri. Pasti Bapak capek. Tapi aku yakin, Bapak tidak akan menampakkan lelah dan letihnya di depan kita anak-anaknya. Bukan tidak mau jujur. Hanya ingin agar beliau terlihat baik-baik saja. Tidak membuat kami khawatir dan lebih mudah untuk kami berkonsentrasi dalam sekolah.

“Udah, segera dimakan itu sarapannya. Mas Qabi juga segera pakai seragamnya. Biar tidak telat” lanjut Bapak sambil menyiapkan sepedanya.

Selesai memakai seragam, aku menyusul Lintang yang sudah ada di meja makan dan mulai menyuapkan nasi pecelnya. Sejenak kami berdua focus dengan apa yang ada di hadapan kami. Tiba-tiba Lintang berkata pelan setengah berbisik kepadaku.

“Mas, kita kasih Bapak hadiah yuk”.

Aku masih terdiam sambil mengunyah pecel di mulutku.

“Iya, 2 minggu lagi Bapak ulang tahun. Kira-kira kita kasih hadiah apa ya Mas?” Lintang antusias menjelaskan.

Aku baru ingat, kalau 2 minggu lagi Bapak ulang tahun. Astaga, kenapa aku jadi lupa.

“Boleh tu Dek. Tapi sebentar. Kira-kira apa ya Dek?

Sejenak kami berdua berfikir dan mencari-cari apa yang cocok untuk hadiah ulang tahun Bapak.

“Sepatu?” tanya Lintang

“Jangan Dek, Bapak kan jarang mau pakai sepatu. Nanti malah mubazir kalau kita belikan”.

“Kalau sepeda Mas?” tanya Lintang lagi.

“Kalau itu mahal Dek” aku jawab dengan muka datar.

Kami pun menghentikan sarapan kami sejenak dan berpikir sama-sama.

“Gimana kalau kemeja aja Mas. Kayaknya kemejanya Bapak yang putih sudah sobek di beberapa tempat. Udah di jahit berkali-kali pula” usul Lintang

Memang, kemeja Bapak cuma ada 2. Satu berwarna putih, satu lagi cokelat. Karena saking seringnya dipakai dan dicuci, kemeja Bapak jadi lebih mudah robek. Jadi harus di jahit sana sini. Yang lainnya sudah tidak tahu kemana. Kebanyakan memang rusak, tapi sebagian lagi yang masih layak sepertinya di berikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Kata Bapak agar jadi amal jariyah.

“Wah, boleh tu. Nanti Mas coba cari tahu harganya berapa. Yang jelas nggak akan mahal banget” suaraku tidak terlalu jelas karena aku msaih asik dengan pecel yang ada di mulutku.

“Nanti Lintang buka celengan, buat beli kemejanya”

“eh, jangan Dek. Kan itu buat biaya sekolah. Biar nanti Mas cari cara untuk cari uangnya”

“Ya udah, nanti Lintang juga cari cara untuk dapet uangnya Mas”

Kita sepakat untuk membelikan kado untuk Bapak berupa kemeja. Ya walaupun masih belum tahu bagaimana cara untuk mendapatkannya.

Pukul 06.30 aku dan Lintang berangkat ke sekolah. Bapak, sekali lagi yang menjadi orang yang baik hati mengantarkan kami dengan sepeda tuanya.

“Yuk, berangkat. Udah jam segini lho. Nanti kalaian malah telat” ajak Bapak sambil mendendarai sepedanya.

“Sebentar Pak, Lintang kunci dulu pintunya” Lintang segera mengambil gembok di meja dan mengunci pintu rumah.

Kami segera menaiki sepeda Bapak. Seperti biasa pula, Lintang duduk di depan sedangkan aku berada di belakang sambil memegang pinggang Bapak. Sungguh suasana yang menyenangkan untuk kami bertiga.

“Udah siap?” tanya Bapak.

“Siaappp” jawab kami berdua kompak.

“Berangkaaaaaaaaattttt” seru kami bertiga.

Sesekali Bapak suka memacu sepedanya dengan agak kencang, sehingga kami harus berpegangan dengan cukup erat agar tidak goyah dan terjatuh. Bukan kencang yang membahayakan sebenarnya, hanya sekedar guyonan Bapak agar kami bisa tersenyum dan kadang tertawa bersama.

Udara pagi yang cukup segar, selalu menyambut dengan hangatnya sinar matahari. Berpadu menjadi harmoni yang menarik di pagi hari yang cerah. Kadang aku sering bergumam, betapa enaknya kalau setiap hari seperti ini.

“Uhk.. uhk..” Lintang batuk dan menutup mulutnya.

“Lintang, tutup hidung dan mulutnya pakai tangan ya. Biar nggak masuk asap kendaraannya” suruh Bapak sambil memegang tangan Lintang serta menutup mulut dan hidung Lintang.

“Kamu juga Mas” Bapak kembali melihatku yang duduk di belakang sambil menyipitkan mata karena debu dan asap kendaraan.

“Iya Pak, ini sudah aku tutupin” Tanganku mulai menutup hidung dan mulut. Sama seperti Lintang.

Perkembangan teknologi membuat jalanan menjadi cukup ruwet. Asap motor dan mobil dimana-mana. Apalagi ditambah suara bising klakson-klakson yang seakan berteriak di pagi hari yang sangat belia itu. Seakan semuanya tidak ada aturan dan tatanan yang pakem. Sehingga semua orang seperti berhak menggunakan jalan dengan sekehendak hatinya.

Ah sudahlah. Untuk apa mengurus yang begituan. Kadang ingin lupa dengan semua urusan itu. Tapi lagi-lagi Bapak selalu bilang lihatlah sekitarmu, masih banyak orang yang perlu di bantu. Sekolahlah yang rajin biar kamu bisa jadi pemimpin yang bisa membuat kebijakan dan peraturan yang merubah keadaan menjadi baik. Kata-kata itu aku pegang sampai sekarang.

 

Bersambung

1.503 Words

One thought on “30 Hari Menulis #3

  1. Sudah ada jumlah katanya. Makasiiiiih … 😀

    Oke, ini komentar saya:

    Beberapa saya temui kamu pakai bahasa daerah. Saran saya, kata-kata daerah diketik miring. Selain itu sesuai dengan kaidah kepenulisan dalam bahasa Indonesia yang benar, juga hal tersebut menambah aksen bahwa cerita ini berputar di daerah yang bahasanya dipakai. Memperkuat aura cerita.

    Ini beberapa kata daerah yang saya temui dalam tulisanmu. Sepertinya masih ada yang lain, sih:
    Kampong
    Rasan-rasan
    Gayeng

    Lalu, hati-hati juga dengan autocorrect. Contohnya kata ini: [Topic]. Ini sih tidak menimbulkan makna yang berbeda, tapi ada juga autocorrect yang menimbulkan makna yang berbeda yang hasilnya malah bisa jadi lucu.

    Selanjutnya, saya ingin memuji perihal dialog. Ngalir dan luwes. Paling koreksiannya hanya berkisar pada pembentukan kalimat. Masih perlu latihan membentuk kalimat yang efektif sehingga tulisanmu jadi lebih ciamik.

    Sekian dulu feedback dari saya. Saya nungguin lanjutannya, yah.

    BAKARRR!!!

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.